Alhamdulillah, bulan Ramadhan telah tiba. Seluruh umat Islam menyemarakannya dengan ibadah puasa secara serentak dan amal-amal saleh lainnya. Ramadhan adalah bulan kemenangan. Saat yang tepat bagi setiap Muslim untuk panen ibadah dan melipatkan sebanyak-banyaknya pahala yang dijanjikan Allah SWT.
Puasa adalah perisai. Demikian potongan Hadist Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan salah satu keutamaan ibadah puasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan, perisai adalah alat untuk melindungi diri atau menangkis serangan. Ia juga bisa bermakna tameng atau baju besi pelindung.
Tinggal bagaimana cara umat Islam meyikapi ibadah puasa tersebut. Apakah benar ia bisa dimaksimalkan sebagai perisai yang menyelamatkan diri? Ataukah justru hanya menjadi rutinitas tahunan yang luput dari nilai-nilai keimanan?
Lebih jauh tentang apa hakikat puasa itu dalam pandangan Islam? Apa urgensi ibadah puasa bagi kehidupan umat Islam dan peradaban? Seperti apa gambaran kualitas ibadah puasa dalam kehidupan orang-orang saleh terdahulu?
Puasa, yang Logis yang Sempurna
Salah paham, tidak paham dan kurang paham menjadi ciri khas mayoritas manusia. Pemahamannya lebih banyak terhenti pada aspek yang kasat mata dan acap gagal menembus yang hakiki di balik fenomena.
Demikian potret yang tercermin dari firman Allah SWT, yang artinya :
“Allah tidak akan menyalahi janjinya, akan tetapi sebagian besar manusia tidak mengetahuinya. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang tentang (kehidupan) akhirat mereka lalai.” (Ar-Rum [30]: 6-7)
Diketahui, bahwa puasa berarti mengekang diri dari hal-hal yang membatalkan, mulai fajar sampai tenggelamnya matahari. Sayangnya makna itu sering terhenti pada aspek pasif saja. Makna tersebut tentu tidak salah, sebab fiqih memang berada pada tataran praktis dan riil. Namun dibalik itu terdapat makna spesifik yang menjadi substansi dari puasa. Pengabaian makna ini, justru berakibat fatal. Ian bisa menihilkan apa yang lahirnya terlaksana sempurna. Rasulullah SAW mengingatkan dalam sebuah Hadistnya :
“Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan bohong, berbuat karenanya dan berlaku bodoh, maka Allah tidak butuh sikapnya meninggalkan makan dan minum.” (Riwayat Al-Bukhari).
Secara terpisah, meninggalkan makan, minum dan sejenisnya bisa kehilangan makna jika tidak menyertakan perkara substansif lainnya, yaitu konsisten berperilaku baik serta menjaga diri dari keburukan. Tak heran sebagian ulama, misalnya al-Auza’I, menjadikan ghibah sebagai pembtal puasa. Konsekuensinya tidak sekedar hilang pahalanya, tetapi juga mengqhada di hari lain jika itu adalah puasa wajib. Demikian juga ibn Hazm, ia menegasakan puasa menjadi batal disebabkan makiat yang disengaja, baik ucapan maupun perbuatan. (Ibn Hajar, Fath al-Bari: IV/104)
Boleh dikata, dimensi demikian yang kini jarang disadari, akibatnya wajar banyak yang tergelincir dan kehilangan pahala amat besar tanpa sadar apalagi menyesal. Padahal jika pelaku puasa menyadari hakikat puasa tersebut, maka tak mungkin didapati orang itu tega melenyapkannya tanpa sesal.
Suatu ketika ditanya tentang amalan yang bermanfaat, dia menjawab:
“lakukanla puasa, sebab puasa itu tidak ada tandingannya (Riwayat An-Nasa”I da dishahihkan al-Albani)
Dengan kesadaran makna puasa dan keutamaannya, tak heran sahabat Abu Ummamah dikabarkan tak pernah meninggalkan puasa. Hingga para tetangga hafal jika ada asap di rumah abu ummamah, itu berarti keluarganya sedang menerima tamu. Tentunya bukan tanpa alasan Rassulullah SAW menyampaikan. Meski tidak dinyatakan secara tekstual dan Hadist, para ulama memahami, tidak ada bandingan tersebut terkait dengan dampak puasa terhadap aspek spirit dan Ruhani.
Al-Munawi dalam Faidh al-Qadir menjelaskan, sebab puasa itu menguatkan hati dan kecerdasan, menambah kepintaran dan perilaku mulia. Orang yang berpuasa terbiasa untuk sedikit makan dan minum. Syahwatnya tertumpas dan sarana berbuat dosa itu terkikis secara perlahan. Ia memasuki seluruh pintu kebaikan sedang ia dikelilingi oleh beragam kebaikan dari segala sisi.
Senada dengan Al-Munawi, dijelaskan oleh imam al-Sindi dalam Hasyiah Sunan an-Nasai, puasa itu tidak ada mengungguliny dalam urusan mematahkan syahwat, menahan nafsu yang selalu menyuruh berbuat buruk dan dalam menghadapi setan.
Inilah indahnya puasa dalam pemahaman ulama, yang tidak berhenti pada aspek ibadah badaniyah semata. Lebih jauh, puasa adalah sarana menuju kemuliaan di dunia dan hari akhirat kelak. Puasa merupakan bekal mahal yang amat pantas disesali jika luput.
Disebutkan, sebagian orang saleh terdahulu sampai memilih enggan mati dan meninggalkan dunia. Tapi bukan karna cinta terhadap apa yang ada di dunia dari makanan, minuman dan hal yang indah-indahnya. Bukan pula karena ingatan terhadap lawan jenisnya. Namun untuk mengejar kesempatan meninggalkan dunia sat mereka masih berada di dunia. Menanggalkan tidur nyaman demi shalat tahajud, menceraikan makan dan minum dengan puasa disiang yanga terik, serta merelakan dinar dan dirham dari tangan disaat orang lain justru kian menggengggamnya dengan erat.
Dalam sebuah kisah, muadz bin jabal pernah mencurahkan hatinya kepada Allah SWT jelang kematiannya dahulu: Ya Allah, sungguh engkau mengetahui bahwa aku tidaklah mencintai dunia dan berlama-lam disana karena aliran sungai dan menanam pohon. Tetapi untuk berhaus-haus disiang terik, menimba manfaat dari setiap waktu yang berjalan dan berdekat-dekat kepada para ulama dalam majelis ilmu.