Tag: #virusMERS-CoV

  • Mengenal Badai Sitokin, Kondisi Fatal yang Mengintai Pasien COVID-19

    Dampak COVID-19 memang lebih parah pada lansia, terutama bagi mereka yang telah menderita penyakit penyerta seperti diabetes, penyakit jantung, dan penyakit paru. Akan tetapi, tidak sedikit pula laporan kematian akibat COVID-19 pada pasien berusia 20 atau 30-an. Para ilmuwan menduga penyebab kematian COVID-19 teresbut berkaitan dengan badai sitokin.

    Sitokin merupakan salah satu bagian dari sistem kekebalan tubuh. Sitokin seharusnya berfungsi melindungi tubuh dari infeksi. Namun, pada kondisi yang salah, keberadaan sitokin justru dapat membahayakan jiwa. Apa itu sitokin dan bagaimana kaitannya dengan COVID-19? Berikut penjelasan selengkapnya.

    Fungsi sitokin sebelum terjadi badai sitokin pada infeksi COVID-19

    Sistem kekebalan tubuh terdiri dari banyak komponen. Ada sel-sel darah putih, antibodi, dan sebagainya. Tiap komponen bekerja sama untuk mengenali patogen (bibit penyakit), membunuhnya, dan membentuk pertahanan tubuh jangka panjang.

    Agar dapat menjalankan fungsinya, tiap komponen pada sistem kekebalan tubuh harus berkomunikasi antara satu sama lain. Di sinilah peran sitokin dibutuhkan. Sitokin adalah protein khusus pembawa pesan antara sel 0pada sistem kekebalan tubuh.

    Sitokin terbagi berdasarkan jenis sel yang memproduksinya atau cara kerjanya dalam tubuh. Ada empat macam sitokin, yakni:

    • Limfokin, diproduksi oleh sel limfosit-T. Fungsinya untuk mengarahkan respons sistem imun menuju daerah infeksi.
    • Monokin, diproduksi oleh sel monosit. Fungsinya untuk mengarahkan sel-sel neutrofil yang akan membunuh patogen.
    • Kemokin, diproduksi oleh sel sistem imun. Fungsinya untuk memicu perpindahan respons imun ke daerah infeksi.
    • Interleukin, diproduksi oleh sel darah putih. Fungsinya untuk mengatur produksi, pertumbuhan, dan pergerakan respons imun dalam reaksi peradangan.

    Ketika SARS-CoV-2 memasuki tubuh, sel-sel darah putih akan merespons dengan memproduksi sitokin. Sitokin lalu bergerak menuju jaringan yang terinfeksi dan berikatan dengan reseptor sel tersebut untuk memicu reaksi peradangan.

    Sitokin terkadang juga berikatan dengan sel darah putih lain atau bekerja sama dengan sitokin lain saat terjadi infeksi. Tujuannya tetap sama, yakni mengatur sistem kekebalan tubuh dalam membasmi patogen.

    Saat terjadi peradangan, sel-sel darah putih akan bergerak menuju darah atau jaringan yang terinfeksi untuk melindunginya dari penyakit. Pada kasus COVID-19, sitokin bergerak menuju jaringan paru-paru untuk melindunginya dari serangan SARS-CoV-2.

    Peradangan sebenarnya berguna untuk membunuh patogen, tapi reaksi ini juga dapat menimbulkan demam dan gejala COVID-19 lainnya. Setelah beberapa waktu, barulah peradangan mereda dan sistem imun tubuh dapat melawan virus dengan sendirinya.

    Mengenal badai sitokin pada pasien COVID-19

    Banyak pasien COVID-19 meninggal karena sistem kekebalan tubuhnya tidak mampu melawan infeksi. Virus pun memperbanyak diri dengan cepat, menyebabkan kegagalan beberapa organ sekaligus, dan akhirnya mengakibatkan kematian.

    Namun, beberapa dokter dan ilmuwan menemukan pola tidak biasa pada sejumlah pasien COVID-19. Pasien-pasien ini mengalami gejala ringan, tampak membaik, tapi selang beberapa hari, kondisi mereka menurun drastis hingga kritis atau meninggal.

    Dr. Pavan Bhatraju, dokter ICU di Harborview Medical Center Seattle, AS, menyebut hal ini dalam penelitiannya. Penurunan kondisi pasien umumnya terjadi setelah tujuh hari dan lebih banyak ditemukan pada pasien COVID-19 yang sehat dan masih muda.

    Mereka meyakini bahwa penyebabnya adalah produksi sitokin yang berlebihan. Hal ini dikenal sebagai cytokine storm atau badai sitokin. Alih-alih melawan infeksi, kondisi ini justru dapat menyebabkan kerusakan organ dan berakibat fatal.

    Sitokin normalnya hanya berfungsi sebentar dan akan berhenti saat respons kekebalan tubuh tiba di daerah infeksi. Pada kondisi badai sitokin, sitokin terus mengirimkan sinyal sehingga sel-sel kekebalan tubuh terus berdatangan dan bereaksi di luar kendali.

    Paru-paru mengalami peradangan parah karena sistem kekebalan tubuh berusaha keras membunuh virus. Peradangan pun bisa terus terjadi meski infeksi sudah selesai. Selama peradangan, sistem imun juga melepas molekul bersifat racun bagi virus dan jaringan paru-paru.

    Jaringan paru-paru pun mengalami kerusakan. Kondisi pasien yang tadinya sudah baik berakhir memburuk. Dr. Bhatraju mengatakan, pasien yang awalnya hanya memerlukan sedikit oksigen bisa saja mengalami gagal napas hanya dalam waktu semalam.

    Dampak badai sitokin begitu drastis dan cepat. Tanpa penanganan yang tepat, fungsi paru-paru pasien dapat menurun hingga membuat pasien sulit bernapas. Di sisi lain, infeksi terus bertambah parah dan mengakibatkan kegagalan organ.

    Menangani badai sitokin pada pasien COVID-19

    Ada beberapa jenis obat yang dapat meredakan badai sitokin pada pasien COVID-19, salah satunya dikenal sebagai interleukin-6 inhibitors (IL-6 inhibitors). Obat ini bekerja dengan menghambat kerja sitokin yang memicu reaksi peradangan.

    Meski perlu dikaji lebih dalam, laporan dari Prancis dan Tiongkok menunjukkan bahwa IL-6 inhibitors cukup berpotensi meredakan badai sitokin.

    Pada satu kasus, seorang pasien yang sudah hampir menggunakan ventilator dapat bernapas lagi beberapa jam setelah mengonsumsi obat tersebut.

    Pasien lain yang diberikan obat ini hanya sebentar menggunakan ventilator, padahal ia seharusnya memakai ventilator selama beberapa minggu. Saat ini, tugas para ilmuwan adalah memastikan bahwa IL-6 inhibitors memang efektif mengatasi badai sitokin.

    Sementara itu, masyarakat dapat berperan aktif dengan melakukan upaya mencegah COVID-19. Lindungi diri Anda dengan mencuci tangan dan menjaga daya tahan tubuh.

    Hindari pula interaksi dengan orang lain guna mengurangi risiko penyebaran COVID-19 yang dapat mengakibatkan badai sitokin pada beberapa orang.

     

    Sumber : hellosehat.com

  • Hal-Hal yang Harus Dilakukan Ketika Merasakan Gejala COVID-19

    Virus penyebab COVID-19 hingga kini masih merebak dan kasusnya terus meningkat di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, pasien COVID-19 sudah mencapai ribuan orang dan telah memakan korban hingga ratusan jiwa.

    Penyebaran yang sangat cepat dan awalnya yang sering tanpa gejala pun membuat banyak masyarakat khawatir. Lantas, bagaimana jika suatu saat seseorang merasakan gejala COVID-19, apa yang harus dilakukan?

    COVID-19 merupakan sebuah penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 yang menyerang pernapasan. Hampir serupa dengan flu, gejala yang ditunjukkan bisa berupa gejala ringan seperti batuk kering, dan sakit tenggorokan.

    Namun infeksi virus COVID-19 juga bisa menimbulkan gejala yang cukup berat seperti pneumonia dan sesak nafas.

    Seiring dengan bertambahnya kasus, ditemukan juga berbagai gejala lainnya yang terjadi pada beberapa orang. Gejala tersebut meliputi hilangnya indera penciuman dan diare.

    Berkurangnya fungsi indera penciuman masih lebih umum terjadi, mengingat virus bisa saja menyebabkan pilek yang membuat hidung tersumbat dan tidak bisa mencium aroma.

    Berbeda dengan gejala diare, orang-orang yang mengalaminya kebanyakan tidak segera mencari pertolongan medis karena merasa bahwa gejala tidak berhubungan dengan masalah pernapasan.

    Hal yang harus dilakukan jika Anda mengalami gejala COVID-19

    Sebenarnya, kebanyakan pasien yang terinfeksi COVID-19 hanya menunjukkan gejala ringan dan dapat melakukan perawatan sendiri di rumah tanpa bantuan medis. Gejala biasanya akan muncul dalam 2 sampai 14 hari setelah terpapar dengan virus.

    Bagi Anda yang ingin melakukan tes untuk mengetahui apakah tubuh telah terinfeksi virus, cobalah hubungi dinas kesehatan atau penyedia layanan medis yang ada di kota Anda. Bisa juga menghubungi hotline Kemenkes RI dengan nomor 021-5210411 atau 081212123119.

    Jika hasilnya negatif, kemungkinannya Anda memang tidak terinfeksi atau Anda masih berada pada tahap awal saat pengumpulan spesimen.

    Meski demikian, Anda tetap harus berhati-hati dan melakukan pencegahan. Hasil tes yang negatif tidak menutup kemungkinan Anda bisa terinfeksi virus di kemudian hari.

    Jika hasilnya positif, Anda harus segera mencari bantuan dan meminta anjuran pada dokter tentang apa saja yang harus dilakukan jika masih bisa melakukan perawatan sendiri.

    Berikut adalah beberapa di antaranya yang harus Anda lakukan ketika mulai merasakan gejala atau sudah terinfeksi COVID-19.

    Berdiam di rumah

    Untuk Anda yang mengalami gejala seperti batuk dan demam tanpa mengalami sesak nafas, Anda disarankan untuk berdiam di rumah dan tidak bepergian kecuali untuk keperluan medis seperti periksa ke dokter.

    Anda bisa melakukan penyembuhan dengan meminum obat-obatan yang akan mengurangi gejalanya.

    Bila Anda terpaksa harus pergi, usahakan untuk tidak naik kendaraan umum, lebih baik gunakan kendaraan pribadi.

    Memisahkan diri dari orang lain ketika sakit

    Lakukan isolasi diri dengan menjauh dari orang-orang di sekitar Anda. Lakukan jarak fisik minimal 1 meter. Tidurlah di kamar yang terpisah dari orang lain.

    Bila ada, gunakan kamar mandi yang berbeda. Hal ini dilakukan agar Anda tidak menularkan penyakit terutama jika Anda telah positif menderita COVID-19.

    Beritahu kepada dokter tentang keadaan Anda

    Bagi Anda yang sedang menjalani perawatan atau memiliki jadwal dengan dokter yang tidak bisa ditunda, beritahukan dahulu melalui telepon bahwa Anda mengalami gejala-gejala yang berhubungan dengan COVID-19 sebelum bertemu.

    Dengan informasi yang Anda berikan, dokter dan petugas kesehatan lainnya dapat melakukan persiapan terlebih dahulu.

    Gunakan masker yang menutupi hidung dan mulut
    Gunakanlah masker yang bisa menutup area hidung dan mulut dengan baik bila perlu setiap saat. Masker kain sudah cukup membantu untuk menghalangi percikan dari mulut dan hidung untuk terpapar ke luar. Jika kehabisan masker, Anda bisa mengganti dengan menggunakan syal atau selendang.

    Ketika bersin atau batuk, tutupi dengan tisu lalu segera buang ke tempat sampah setelahnya. Jika tidak memiliki tisu, Anda bisa menutup hidung dan mulut menggunakan area siku. Setelah itu, cuci tangan dengan sabun atau gunakan hand sanitizer.

     

    Sumber: hellosehat.com

  • Ditangani Sesuai Protokol, Jenazah COVID-19 Tidak Akan Menularkan Virus

    Virus Corona telah menginfeksi ribuan orang di Indonesia. Jumlah pasien yang meninggal akibat terpapar virus ini pun terus bertambah. Ironisnya, di tengah kondisi ini justru muncul penolakan warga terhadap pemakaman jenazah penderita COVID-19.

    Berita penolakan pemakaman jenazah penderita COVID-19 di beberapa daerah marak terdengar. Penolakan tersebut kabarnya terjadi karena warga sekitar tempat pemakaman takut tertular infeksi virus yang menyerang sistem pernapasan ini, padahal jika ditangani sesuai protokolnya, jenazah penderita COVID-19 tidak akan menularkan virus Corona.

    Perawatan Jenazah COVID-19 di Indonesia Sudah Sesuai Protokol

    Virus Corona memang masih bisa bertahan hidup selama beberapa hari di dalam cairan tubuh, darah, dan permukaan tubuh jenazah penderita COVID-19. Namun, umumnya setelah 9 hari, virus tersebut akan mati karena tidak memiliki sel hidup sebagai inang untuk berkembang biak.

    Perlu diketahui bahwa perawatan jenazah penderita COVID-19 di Indonesia sudah diatur sesuai dengan protokol yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan dan Badan Kesehatan Dunia (WHO), sehingga jenazah tersebut aman dan tidak akan menularkan virus Corona.

    Hingga kini pun tidak ada laporan dari negara mana pun di seluruh dunia mengenai kasus penularan virus Corona melalui jenazah.

    Oleh karena itu, pemerintah mengimbau masyarakat agar tidak panik dan tidak melakukan aksi penolakan terhadap pemakaman jenazah penderita COVID-19, apalagi sampai membuat kerumunan orang di jalan. Kerumunan inilah yang justru berpotensi menjadi tempat penyebaran virus Corona.

    Protokol Penanganan Jenazah Penderita COVID-19

    Penularan virus Corona lebih berisiko terjadi pada petugas kesehatan atau siapa pun yang kontak langsung dengan jenazah. Oleh karena itu, keamanan dan kebersihan petugas yang menangani jenazah harus diutamakan.

    Petugas wajib melindungi diri dengan mengenakan alat pelindung diri (APD), termasuk sarung tangan, masker, dan pelindung mata saat melakukan perawatan jenazah hingga menguburnya.

    Jenazah yang dicurigai atau terbukti meninggal karena COVID-19 akan didisinfeksi oleh petugas kesehatan terlebih dahulu. Setelah itu, jenazah baru bisa dimandikan dan dibungkus kain kafan. Meski jenazah sudah didisinfeksi, petugas atau keluarga yang memandikan dan membungkus jenazah tetap harus menggunakan APD yang lengkap.

    Setelah dimandikan dan dibungkus kain kafan, jenazah dimasukkan ke dalam kantong jenazah atau plastik yang diikat rapat dan tidak tembus air. Bila dilakukan pemetian, peti harus berbahan kayu yang kuat dengan ketebalan minimal 3 cm. Peti juga akan dipaku di beberapa tempat lalu disegel menggunakan silikon.

    Lokasi pemakaman diatur untuk berjarak setidaknya 500 meter dari pemukiman dan 30 meter dari sumber air tanah yang digunakan untuk minum, sehingga sumber air tidak akan terkontaminasi virus. Jenazah juga harus dikubur sedalam minimal 1,5 meter dan permukaan kubur ditutup dengan tanah setinggi 1 meter.

    Selain itu, seluruh prosesi dari perawatan jenazah hingga prosesi pemakaman juga perlu diatur secara ketat untuk tidak dikunjungi banyak orang. Pihak keluarga pun tetap harus menjaga jarak dengan jenazah maupun dengan satu sama lain untuk meminimalkan risiko penularan.

    Semua langkah-langkah perawatan hingga pemakaman jenazah penderita COVID-19 telah diatur dengan jelas dan rinci oleh pemerintah. Semua aturan ini dibuat sedemikian rupa untuk memastikan tidak adanya kemungkinan penularan dari jenazah ke orang yang masih hidup.

    Jadi, masyarakat tidak perlu khawatir, apalagi sampai melarang jenazah COVID-19 dimakamkan. Perlu disadari, hal ini bisa sangat menyakitkan bagi anggota keluarga jenazah. Di masa-masa sulit seperti ini, alangkah baiknya bila kita saling membantu dan memberi dukungan, bukannya malah menambah kesedihan keluarga yang ditinggalkan.

    Penyebaran virus Corona yang perlu dikhawatirkan justru pada orang-orang yang masih melakukan aktivitas, khususnya di luar rumah dan keramaian. Agar tidak tertular COVID-19, lakukan langkah pencegahan dengan menerapkan physical distancing, rajin mencuci tangan, mengonsumsi makanan bergizi, rutin berolahraga, dan tidak bepergian ke luar rumah kecuali bila ada kepentingan mendesak.

    Jika kamu mengalami demam yang disertai batuk atau sesak napas, terlebih jika dalam 14 hari terakhir kamu pernah berada di daerah endemis COVID-19 atau memiliki kontak dengan orang yang terinfeksi virus Corona, lakukan isolasi mandiri dan hubungi hotline COVID-19 di 119 Ext. 9 untuk mendapatkan arahan lebih lanjut.

    Gunakan fitur cek risiko virus Corona yang disediakan gratis oleh Alodokter untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kamu telah terinfeksi virus ini. Bila memiliki pertanyaan seputar COVID-19 atau masalah kesehatan lainnya, kamu bisa chat langsung dengan dokter melalui aplikasi Alodokter.

    Jika kamu memerlukan konsultasi atau pemeriksaan langsung dari dokter, sebaiknya jangan langsung ke rumah sakit karena akan meningkatkan risiko kamu tertular virus Corona. Buatlah dulu janji konsultasi dengan dokter di rumah sakit melalui aplikasi Alodokter, sehingga kamu bisa diarahkan untuk menemui dokter terdekat yang dapat membantu kamu.

     

    Sumber : alodokter.com

  • Alasan Mengapa Lansia Lebih Rentan terhadap Virus Corona

    Jumlah penderita dan kasus kematian akibat infeksi virus Corona setiap harinya terus meningkat. Sejauh ini, virus Corona terlihat lebih sering menyebabkan infeksi berat dan kematian pada orang lanjut usia (lansia) dibandingkan orang dewasa atau anak-anak. Mengapa demikian?

    Mengapa Lansia Lebih Rentan terhadap Virus Corona?

    Seiring pertambahan usia, tubuh akan mengalami berbagai penurunan akibat proses penuaan, mulai dari menurunnya produksi pigmen warna rambut, produksi hormon, kekenyalan kulit, massa otot, kepadatan tulang, kekuatan gigi, hingga fungsi organ-organ tubuh.

    Sistem imun sebagai pelindung tubuh pun tidak bekerja sekuat ketika masih muda. Inilah alasan mengapa orang lanjut usia (lansia) rentan terserang berbagai penyakit, termasuk COVID-19 yang disebabkan oleh virus Corona.

    Selain itu, tidak sedikit lansia yang memiliki penyakit kronis, seperti penyakit jantung, diabetes, asma, atau kanker. Hal ini bisa meningkatkan risiko atau bahaya infeksi virus Corona. Komplikasi yang timbul akibat COVID-19 juga akan lebih parah bila penderitanya sudah memiliki penyakit-penyakit tersebut.

    Bukan hanya menyebabkan gangguan pada paru-paru, infeksi virus Corona juga bisa menurunkan fungsi organ-organ tubuh lainnya, sehingga kondisi penyakit kronis yang sudah dimiliki penderita akan semakin parah, bahkan sampai mengakibatkan kematian.

    Pada penderita kanker, misalnya. Penyakit kanker sendiri dapat melemahkan sistem imun sehingga penderitanya tidak mampu menangkal serangan virus Corona, ditambah lagi efek samping kemoterapi yang juga dapat menekan sistem imun. Dalam keadaan seperti ini, virus Corona akan lebih mudah berkembang dan menyebabkan gangguan pada berbagai organ tubuh.

    Pada penderita gagal jantung, di mana jantungnya sudah mengalami kepayahan dalam memompa darah, gangguan paru-paru akibat infeksi virus Corona akan membuat jantung harus bekerja lebih keras untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Hal ini tentu dapat memperburuk kondisi jantung.

    Cara Mencegah Penularan Virus Corona pada Lansia

    Virus Corona awalnya ditularkan dari hewan ke manusia. Virus ini juga bisa menular dari manusia ke manusia lewat percikan air liur penderitanya.

    Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan lansia untuk melindungi diri dari penularan virus yang sedang mewabah ini, antara lain:

    • Mencuci tangan secara teratur dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer dengan kandungan alkohol minimal 60%
    • Menggunakan masker saat sedang sakit
    • Menghindari kontak dengan orang yang sakit
    • Menghindari pergi ke tempat-tempat yang ramai, seperti pusat perbelanjaan, terminal, atau stasiun
    • Tidak menyentuh mata, hidung, dan mulut sebelum mencuci tangan
    • Mengonsumsi obat secara rutin untuk penyakit yang diderita
    • Mengunjungi dokter untuk kontrol sesuai jadwal

    Sistem imun yang sudah melemah ditambah adanya penyakit kronis dapat meningkatkan risiko COVID-19 pada lansia, baik risiko terjadinya infeksi virus Corona maupun risiko virus ini untuk menimbulkan gangguan yang parah, bahkan kematian.

    Oleh karena itu, pencegahan virus Corona pada lansia perlu dilakukan lebih ketat dan kondisi kesehatan lansia pun perlu lebih diperhatikan. Orang lanjut usia yang mengalami demam dengan batuk, pilek, atau sesak napas perlu segera diperiksakan ke dokter, terutama bila sudah memiliki penyakit kronis.

    Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut perihal virus Corona, baik mengenai pencegahan ataupun gejala, jangan ragu untuk chat dokter langsung di aplikasi Alodokter. Di aplikasi ini, Anda juga bisa membuat janji konsultasi dengan dokter di rumah sakit.

     

    Sumber : alodokter.com

  • Cara Menggunakan Masker Kain untuk Mencegah Infeksi Virus Corona

    Kelangkaan masker sekali pakai untuk mencegah infeksi virus Corona membuat banyak orang beralih ke masker kain. Meski bukan masker yang ideal untuk mencegah COVID-19, masker kain yang dipakai dengan benar masih jauh lebih baik daripada tidak mengenakan masker sama sekali.

    Virus Corona dapat menular melalui percikan dahak atau air liur saat penderita COVID-19 batuk atau bersin. Untuk mengurangi risiko penularan virus ke orang lain, orang yang sedang sakit batuk, pilek, atau bersin-bersin disarankan untuk mengenakan masker, apalagi jika memang berisiko tinggi menderita COVID-19.

    Sebenarnya, masker lebih dianjurkan untuk dikenakan oleh orang yang sakit dan orang yang merawatnya. Namun, seiring meningkatnya jumlah orang yang positif terinfeksi virus Corona, banyak orang sehat juga mengenakan masker agar tidak terpapar virus ini.

    Hal tersebut menyebabkan masker sekali pakai, seperti masker bedah dan masker N95, menjadi barang langka yang harganya sangat mahal. Tak hanya masyarakat umum, para dokter, perawat, dan petugas medis yang menangani pasien pun kini kesulitan mendapatkan masker.

    Oleh karena itu, masyarakat terpaksa mencari alternatif masker lain, yaitu masker kain yang bisa dicuci dan dipakai lagi.

    Masker Kain dan Virus Corona

    Menurut penelitian, masker kain memang tidak seefektif masker N95 maupun masker bedah dalam menangkal virus Corona.

    Dibandingkan masker kain, masker bedah dan masker respirator N95 jauh lebih efektif dalam menyaring debu, bakteri, dan partikel yang ukurannya sangat kecil seperti virus Corona. Kedua jenis masker ini juga dapat mencegah tembusnya percikan dahak atau air liur, karena memiliki lapisan antiair.

    Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa masker kain kurang efektif dalam mengurangi risiko penularan virus Corona:

    • Masker kain kebanyakan dibuat oleh industri rumah tangga yang proses pembuatan dan bahannya tidak mengikuti standar medis.
    • Kain yang digunakan tidak sama dengan bahan masker bedah atau masker N95.
    • Ujung masker kain cenderung longgar, sehingga tidak dapat menutupi area di sekitar hidung dan mulut dengan sempurna.
    • Masker kain tidak dapat mencegah masuknya partikel yang sangat kecil, seperti virus Corona, ke dalam hidung atau mulut melalui udara.
    • Bila tidak digunakan dengan cara yang benar, masker kain justru dapat meningkatkan risiko virus masuk ke dalam tubuh. Salah satunya karena masker ini mudah bergerak dan longgar, sehingga pemakainya perlu berulang kali menyentuh wajah untuk menyesuaikan posisi masker.

    Meski begitu, the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menganjurkan penggunaan masker kain kepada masyarakat luas untuk menekan penyebaran virus Corona, terutama oleh orang yang sudah terinfeksi virus Corona namun tidak mengalami gejala apa pun dan tampak sehat-sehat saja.

    Cara Menggunakan Masker Kain agar Lebih Efektif Mencegah Virus Corona

    Walau tidak seefektif masker bedah atau masker N95 dalam menangkal virus Corona, masker kain masih lebih baik daripada tidak mengenakan masker sama sekali, asalkan cara pakainya benar.

    Agar masker kain dapat berfungsi seoptimal mungkin untuk menangkal virus Corona, lakukanlah beberapa tips berikut ini:

    • Pilih masker yang sesuai dengan ukuran wajah dan dapat menutup mulut, hidung, dan dagu Anda.
    • Cuci tangan sebelum mengenakan masker, lalu kenakan masker pada wajah dan selipkan talinya di belakang telinga atau ikat tali masker di belakang kepala dengan erat agar masker tidak longgar.
    • Hindari menyentuh masker kain saat sedang dipakai. Jika ingin memperbaiki posisi masker kain yang berubah atau longgar, cuci tangan terlebih dahulu sebelum menyentuh masker.
    • Setelah selesai digunakan, lepaskan masker kain dengan hanya menyentuh tali pengait atau pengikatnya, lalu segera cuci masker kain dengan air bersih dan deterjen atau rebus masker di air mendidih dengan suhu minimal 130 derajat Celsius.
    • Segera ganti masker kain apabila sudah robek atau rusak.

     

    Sumber : alosehat.com

  • Virus Corona Dapat Dilawan dengan Antibiotik, Mitos atau Fakta?

    Banyak orang bertanya-tanya mengenai pengobatan COVID-19 yang sekarang sudah resmi mendunia. Bahkan, berhembus kabar bahwa antibiotik bisa mengobati virus Corona. Bagaimanakah kebenarannya?

    COVID-19 adalah infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus Corona atau yang bernama resmi SARS-CoV-2. Penularan virus umumnya terjadi melalui percikan air liur penderita saat batuk, bersin, atau bicara.

    Sementara itu, antibiotik adalah obat untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Obat ini berfungsi untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri di dalam tubuh.

    Bisakah Virus Corona Dilawan dengan Antibiotik?

    Virus dan bakteri adalah dua mikroorganisme yang sangat berbeda, mulai dari struktur hingga cara berkembang biaknya. Antibiotik bekerja dengan cara menyerang struktur-struktur tertentu pada bakteri yang membuatnya tidak bisa berkembang biak atau bertahan hidup.

    Struktur yang ditarget antibiotik ini tidak didapatkan pada virus. Oleh karena itu, COVID-19 jelas tidak bisa dicegah apalagi diobati oleh antibiotik. Jadi, mengonsumsi antibiotik tidak akan berguna untuk menekan penyebaran virus Corona.

    Mengonsumsi antibiotik ketika sebenarnya tidak dibutuhkan, misalnya pada infeksi virus, justru dapat menyebabkan bakteri menjadi kebal terhadap antibiotik. Hal ini tentu akan merugikan jika suatu saat infeksi bakteri terjadi dan tidak ada antibiotik yang ampuh untuk menanganinya.

    Pemberian antibiotik pada pasien yang positif terinfeksi virus Corona sebenarnya mungkin saja dilakukan, namun hanya jika dokter menilai pasien berisiko terinfeksi bakteri atau jika pasien memang diketahui telah mengalami infeksi tambahan oleh bakteri.

    Lantas, Obat Apa yang Bisa Melawan Virus Corona?
    Hingga sekarang, belum ada vaksin atau obat yang terbukti ampuh melawan infeksi virus Corona. Walaupun begitu, para peneliti sedang berusaha mengembangkan vaksin maupun obat untuk mencegah dan mengobati COVID-19.

    Hal yang paling penting diterapkan saat ini adalah tindakan pencegahan agar virus tidak menyebar dan risiko terjadinya infeksi berkurang. Caranya adalah dengan mencuci tangan secara teratur dengan air bersih dan sabun, menjaga jarak setidaknya 1 meter dari orang yang sedang sakit, dan menjaga daya tahan tubuh tetap prima.

    Jika sedang sakit batuk atau pilek, kamu juga dianjurkan untuk mengenakan masker dan menghindari bepergian untuk sementara. Periksakan dirimu ke dokter untuk mendapatkan obat yang bisa meredakan gejala. Bila sakit tidak membaik hingga lebih dari seminggu, konsultasikan ke dokter untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.

    Ingat, jangan menggunakan antibiotik secara sembarangan tanpa anjuran dokter. Bila dokter meresepkan antibiotik, gunakan sesuai dosis dan jangka waktu yang ditentukan oleh dokter. Jangan berhenti menggunakan antibiotik sebelum waktunya meskipun gejala sudah membaik.

     

    Sumber: alodokter.com

  • Benarkah sinar matahari membunuh coronavirus?

    Baru-baru ini, beredar kabar bahwa berjemur di bawah sinar matahari dapat membunuh coronavirus (COVID-19). Kabarnya pun sudah menyebar di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Apakah informasi tersebut benar adanya?

    Benarkah sinar matahari membunuh coronavirus?

    Wabah COVID-19 kini telah menyebabkan lebih dari 858.000 kasus di seluruh dunia dan menelan sekitar 42.000 korban jiwa. Peningkatan jumlah kasus dan korban tersebut membuat pemerintah di setiap negara memberlakukan pembatasan wilayah skala besar, termasuk Indonesia.

    Hal ini bertujuan agar masyarakat tidak berkumpul dan bepergian untuk sementara waktu, kecuali ketika terdapat urusan mendesak.

    Akibatnya, banyak orang yang merasa ‘terkurung’ saat berada di dalam rumah dan semakin jarang keluar karena takut tertular virus ketika berinteraksi dengan orang lain.

    Akan tetapi, kebanyakan dari mereka akhirnya ikut keluar rumah pada jam-jam tertentu untuk berjemur di bawah sinar matahari yang disebut-sebut dapat membunuh coronavirus.

    Menurut WHO, sampai saat ini belum ada penelitian yang menunjukkan bahwa sinar matahari dapat mencegah penularan COVID-19.

    Terpapar sinar matahari atau suhu lebih dari 25°C tidak membuat tubuh kebal dari virus corona. Begini, Anda masih tetap dapat tertular meskipun berada di negara yang memiliki cuaca dan suhu yang panas serta cerah.

    Hal ini dikarenakan beberapa negara tropis dengan cuaca yang panas telah melaporkan adanya kasus COVID-19, termasuk di Indonesia.

    Sementara itu, tidak sedikit orang yang percaya bahwa sinar UV yang berasal dari matahari juga dapat menghilangkan coronavirus. Banyak orang di negara-negara yang saat ini mengalami musim dingin membeli lampu dengan konsentrasi UV yang cukup tinggi.

    Padahal, sama seperti sinar matahari, sinar UV pada lampu juga tidak membunuh coronavirus. Bahkan, lampu UV tidak disarankan digunakan untuk mensterilkan tangan atau area kulitnya karena dapat menyebabkan iritasi kulit akibat radiasi UV. Maka itu, upaya pencegahan COVID-19 yang terbaik adalah dengan rutin mencuci tangan dan mengurangi kebiasaan menyentuh mata, mulut, dan hidung Anda.

    Walaupun demikian, tidak ada salahnya untuk tetap berjemur di bawah sinar matahari agar asupan vitamin tetap terpenuhi. Berjemur di bawah matahari memang tidak dapat langsung membunuh coronavirus dan membuat Anda kebal terhadap COVID-19.

    Namun, terpapar sinar matahari dengan benar ternyata mendatangkan manfaat yang begitu banyak bagi kesehatan Anda, sehingga tidak ada salahnya untuk tetap melakukannya.

     

    Sumber : hellosehat.com

  • Pesan Makanan Saat Coronavirus, Bagaimana agar Aman?

    Berada di rumah adalah pilihan yang tepat saat kondisi pandemi Coronavirus (COVID-19). Urusan lainnya tinggal diselesaikan secara daring; salah satunya dalam memesan makanan. Menggunakan jasa order makanan menjadi pilihan yang mudah. Hal tersebut bisa menghindari kita dari keramaian selama social distancing. Namun, bagaimana agar pesan makanan tetap aman saat wabah Coronavirus?

    Amankah pesan makanan saat pandemi Coronavirus?

    Pada saat wabah Coronavirus yang membutuhkan kewaspadaan tinggi seperti sekarang sangatlah wajar jika kita memiliki pertanyaan terkait banyak hal. Salah satunya perihal jasa pesan antar makanan yang kita gunakan. Apakah makanan yang kita pesan akan terkontaminasi Coronavirus? Apakah COVID-19 ini bisa menyebar melalui makanan atau wadah pesan antarnya?

    Kabar baiknya, Coronavirus tidak menular melalui makanan. Hal tersebut ditegaskan oleh kepala Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika (CDC) Ian Williams seperti yang dilansir dari CNN.

    “Sejauh ini tidak ada bukti. COVID-19 menular dari orang-ke-orang melalui air liur. Hingga saat ini, tidak ada bukti yang benar-benar menunjukkan (Coronavirus) bisa menular melalui makanan atau layanan pesan antar makanan,” ujar Ian.

    Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika (FDA) juga menegaskan bahwa COVID-19 tidak ditularkan melalui makanan.

    “Saat ini tidak ada bukti makanan atau kemasan makanan bisa menyebarkan SARS-CoV-2. Tidak seperti hepatitis A yang sering membuat orang sakit melalui makanan yang terkontaminasi. COVID-19 menular melalui air liur, remah-remah makanan tidak dikenal sebagai rute penularan virus ini,” tulis FDA dalam situs webnya.

    Sekalipun Anda memakan makanan dengan virus, tidak ada virus yang melekat di jalur pencernaan, sehingga menelan virus tidak akan menyebabkan penularan penyakit. Dengan kata lain, sistem pencernaan akan mencerna dan membuangnya.

    Walaupun COVID-19 tidak menular melalui makanan kemasan pesan antar, FDA mengingatkan untuk mengutamakan kebersihan. Imbauan ini ditujukan kepada semua orang yang berperan dalam pengolahan hingga pengantaran makanan.

    Termasuk membersihkan permukaan benda-benda dan mencuci tangan secara berkala. Hal ini tentu saja untuk menurunkan potensi risiko seminim mungkin.

    “Selalu ingat pentingnya mengikuti empat langkah utama keamanan makanan—bersih, terpisah, matang, atau dibekukan—untuk mencegah penularan penyakit melalui keracunan makanan,” tulis FDA dalam situs webnya.

    Waspadai potensi penularan lain

    Ternyata bukan dari makanan saja. Para ahli mengatakan ada potensi penularan dari pembungkus atau wadah makanannya yang perlu diwaspadai.

    Ada risiko penularan dari Coronavirus yang menempel di kemasan saat pesan makanan. Misalnya jika petugas yang menyiapkan telah terinfeksi COVID-19 lalu air liurnya mengenai bungkus makanan maka virusnya bisa tetap hidup di kemasan tersebut dan bisa berpindah ke tangan pemesan.

    Tapi jangan khawatir risiko tersebut sangat kecil dan bisa dicegah. Intinya para ahli mengatakan sangat rendah potensi penularan COVID-19 dalam paket atau kemasan pesan antar makanan.

    “Saya ingin menjelaskan bahwa makanan atau paket bisa membawa virus, tetapi risiko penularannya sangat rendah,” kata Benjamin Chapman, seorang profesor spesialis keamanan makanan Universitas North Carolina. “Sungguh, risikonya sangat rendah.”

    “Walaupun mungkin bahwa virus menempel (di kemasan makanan pesan antar) kami tidak memiliki indikasi bahwa ini adalah faktor risiko penularan COVID-19 atau penyakit pernapasan lainnya,” kata Chapman. “Bahkan dengan jutaan kasus influenza setiap tahun, kemasan bukanlah sesuatu yang kita persoalkan,” jelasnya.

    Walaupun potensinya sangat kecil, bukan berarti pesan makanan saat Coronavirus tidak berisiko sama sekali. Karena itu ahli medis selalu mengingatkan untuk mencuci tangan dengan sabun karena sabun bisa membunuh virus yang menempel di tangan dan jangan menyentuh wajah.

    “Jika khawatir, untuk itu selalu mencuci tangan setelah menerima apa pun yang mungkin terkontaminasi,” kata Don Schaffner, seorang ahli ilmu pangan spesialisasi dalam risiko mikroba, cuci tangan, dan kontaminasi silang.

    Mencegah penyebaran Coronavirus saat order makanan

    Dalam kondisi pandemi seperti ini, sekecil apa pun risiko tersebut masih bisa ditangkal dengan melakukan pencegahan. Para ahli merekomendasikan beberapa cara pencegahan dalam memperkecil potensi penularan COVID-19 dari jasa pesan antar makanan.

    Saat mengambil paket pesan makanan dari jasa pesan antar, mintalah untuk meletakkan paket makanannya di teras rumah. Jangan lupa untuk siapkan uang pas saat membayar pesanan atau gunakan transaksi nontunai. Cara ini untuk menghindari pengantar dan pemesan berkontak langsung.

    Menghindari kontak langsung dengan pegawai pesan antar makanan bukan hanya melindungi pemesan, tapi juga melindungi pengirim jasa pesan antar makanan tersebut.

    “Jadi tidak perlu berkontak langsung. Cara ini mungkin terdengar ekstrem, tapi dengan cara ini kita dapat meminimalisir risiko,” Dr. Stephen Morse, ahli epidemiologi, memberi saran.

    Setelah itu keluarkan makanan dari kemasannya dan membuang kemasannya dengan benar. Lebih baik menggunakan alat makan milik sendiri yang kita sudah jaga kebersihannya.

    Kemudian setelah membuang kemasan, segeralah mencuci tangan dengan sabun dan air atau hand sanitizer yang mengandung alkohol. Dengan begitu, kita bisa mencegah penularan Coronavirus saat pesan makanan.

     

    Sumber : hellosehat.com

  • Bosan Saat Social Distancing dan Karantina di Rumah? Coba 6 Kegiatan Ini, Yuk!

    Wabah COVID-19 kini telah menyebabkan lebih dari 210.000 kasus secara global dan menelan sekitar 8.900 korban jiwa. Di Indonesia, kasusnya sudah meningkat hingga angka 500 dan pasien yang meninggal mencapai 48 orang. Maka itu, pemerintah Indonesia mengimbau warganya untuk tetap berada di rumah. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, banyak orang yang mulai merasa jenuh dan mencari tahu kegiatan apa saja untuk mengatasi bosan saat karantina di rumah.

    Ide kegiatan seru mengatasi bosan saat karantina di rumah

    Sebagian dari Anda mungkin bertanya-tanya, apa pentingnya berdiam diri di rumah padahal tidak mengalami gejala yang berkaitan dengan COVID-19.
    Begini, tingkat penularan dan penyebaran virus yang menyebabkan COVID-19, yaitu SARS-CoV-2 cukup tinggi. Para ahli pun berpendapat bahwa virus ini dapat bertahan hidup di permukaan setidaknya selama tiga hari jika tidak dibersihkan dengan desinfektan.

    Akibatnya, risiko tidak sengaja memegang benda yang terpercik air ludah pasien yang terinfeksi pun cukup tinggi. Maka itu, pemerintah di beberapa negara, termasuk Indonesia, mengimbau warganya untuk tetap berada di rumah.
    Walaupun baik untuk mengurangi penyebaran virus, tentu saja karantina di rumah akan menimbulkan rasa jenuh. Bahkan, menurut American Psychological Association, mengurangi aktivitas sehari-hari dan terus berada di rumah dapat menimbulkan stres, cemas, dan frustasi.
    Berbagai hal dilakukan untuk mengatasi kejenuhan tersebut, tetapi keinginan untuk bertemu dengan teman atau pacar, berada di luar, atau sekadar jalan-jalan tidak dapat dibendung.
    Lantas, kegiatan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi rasa bosan saat karantina di rumah?

    1. Menghubungi teman saat karantina

    Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi rasa bosan saat karantina di rumah adalah rutin menghubungi teman. Entah itu lewat video call atau bertukar pesan dapat dilakukan setidaknya untuk mengetahui kabar mereka.

    Interaksi langsung Anda dengan yang lain mungkin akan jauh berkurang, tetapi para psikolog menyarankan untuk menggunakan teknologi sekarang untuk mendapatkan dukungan sosial.

    Apabila Anda merasa sedih, bosan, cemas, dan frustrasi, cobalah untuk mengobrol dengan orang yang dipercaya tentang apa yang dirasakan saat ini. Anda pun dapat mencoba menggapai teman dengan situasi yang sama.

    Dengan begitu, mungkin Anda dapat mengatasi rasa bosan saat harus karantina di rumah lewat obrolan seru seputar kehidupan masing-masing yang mungkin tidak terkait dengan COVID-19.

    2. Olahraga di rumah

    Selain berkomunikasi dengan orang lain, olahraga di rumah juga dapat menjadi ide kegiatan seru untuk mengatasi bosan saat karantina. Mengapa di rumah? Pasalnya, gym atau tempat fitness langganan Anda ditutup. Agar tubuh tetap sehat dan menjadi aktivitas untuk menghabiskan waktu, olahraga di rumah dapat menjadi pilihan. Ada banyak macam olahraga yang bisa dilakukan di rumah tanpa perlu keluar ruangan, seperti yoga, lari di treadmill, atau olahraga aerobik lainnya.

    Namun, jangan lupa untuk memperhatikan kebersihan alat olahraga dan kondisi ruangan, ya. Dengan aktivitas fisik Anda dapat meningkatkan hormon endorfin dan membantu menangkal respons stres yang bisa menurunkan fungsi sistem imun. Apabila Anda merasa kesulitan untuk mulai berolahraga, silakan cari tutorialnya di YouTube atau platform lainnya yang menyediakan instruksi secara daring.

    3. Melanjutkan hobi yang tertunda

    Melanjutkan hobi yang tertunda pun dapat menjadi pilihan kegiatan yang cukup menarik untuk mengatasi rasa bosan saat harus karantina di rumah. Kata hobi terkadang terdengar remeh dan mudah diabaikan, tetapi hobi bisa menjadi salah satu cara untuk tetap terhubung dengan ambisi dan identitas diri sendiri.

    Hal ini dikarenakan menjalani hobi membutuhkan keterampilan baru, sehingga dapat mempertajam pikiran seiring dengan bertambahnya usia. Bahkan, hobi juga baik untuk kesehatan fisik dan mental Anda. Berita tentang COVID-19 dan anjuran untuk tidak bepergian tentu dapat menimbulkan stres dan jenuh, sehingga hobi bisa menjadi pelarian Anda agar tetap ‘waras’ di tengah pandemi global ini.

    Sebagai contoh, dulu mungkin Anda tidak dapat menemukan waktu yang tepat untuk melanjutkan bacaan yang tertunda. Cobalah untuk membuka kembali buku atau novel yang hanya sempat dibaca setengah. Bahkan, menulis puisi atau cerita tentang apa yang Anda dan orang sekitar alami bisa membantu mengembangkan keterampilan menulis. Atau, Anda bisa mencari kursus-kursus online tentang hal yang diminati, seperti coding, digital marketing, hingga merajut.

    4. Menonton film atau serial tv

    Apa pun yang menurut Anda tertunda karena sibuk dengan pekerjaan atau tugas sekolah ternyata bisa dilanjutkan selama wabah COVID-19 berlangsung. Ide kegiatan lainnya untuk mengatasi rasa bosan saat karantina di rumah adalah menonton film atau serial tv.

    Anda tidak perlu pergi ke bioskop untuk menonton, mengingat di sana dapat menjadi tempat yang cukup berisiko terjadnya penularan virus. Cukup dengan mencari kembali kaset-kaset film lama dan mencari situs web yang menyediakan layanan streaming film gratis atau berbayar bisa menjadi cara agar Anda tidak jenuh di rumah.

    Apabila Anda bingung, tanyakan kepada teman Anda tentang rekomendasi tontonan seru. Namun, maraton film terlalu lama dan sering pun tidak baik untuk kesehatan. Maka itu, selingi aktivitas yang satu ini dengan kegiatan lainnya yang tidak membuat Anda terlalu lama menatap layar televisi atau laptop.

    5. Keluar rumah sebentar saat karantina

    Pada saat social distancing dan karantina di rumah berlangsung, mungkin ada imbauan untuk tetap berada di rumah dan jarang bepergian, kecuali untuk urusan mendesak.

    Akan tetapi, tidak ada salahnya untuk menikmati alam sebentar sebagai salah satu kegiatan untuk mengatasi rasa bosan saat karantina di rumah.

    Tidak perlu jauh-jauh hingga mengunjungi rumah tetangga di ujung gang. Anda bisa berjalan-jalan di luar di bawah matahari dengan jarak yang cukup lebar antara satu dengan manusia lainnya.

    Sesekali meregangkan tubuh di lapangan pun tidak apa sambil mendapatkan asupan vitamin D dari sinar matahari. Setelah 10-20 menit dan terasa cukup berada di sekitar hijaunya pepohonan dan rumput, saatnya untuk kembali di rumah dan melanjutkan pekerjaan yang harus diselesaikan.

    6. Memasak

    Siapa yang tak senang makanan lezat, terlebih lagi jika Anda sendiri yang membuatnya? Memasak saat karantina di rumah ternyata bisa menjadi ide kegiatan seru untuk mengatasi rasa bosan. Selain dapat mengenyangkan perut, Anda pun tidak perlu keluar rumah untuk membeli makanan yang dapat meningkatkan risiko penularan semakin tinggi.

    Bahkan, dengan masak di rumah sendiri, Anda bisa mengontrol bahan makanan apa saja yang sehat untuk dikonsumsi bersama dengan anggota keluarga. Anda bisa mulai dengan membuat daftar masakan apa saja yang dapat dibuat selama satu minggu dengan bahan makanan yang ada di rumah. Resep sederhana pun tidak masalah, asalkan nutrisi dan vitamin harian tubuh tetap terpenuhi.

    Kegiatan untuk mengatasi rasa bosan saat karantina di rumah sebenarnya dapat Anda diskusikan dengan anggota keluarga lainnya di rumah. Selain itu, usahakan untuk tetap menjalani aktivitas harian seperti biasa agar tidak merasa bosan atau jenuh.

     

    Sumber : hellosehat.com

  • Ibuprofen Bisa Perburuk Efek COVID-19, WHO Tak Sarankan Penggunaannya

    WHO mengumumkan untuk menghindari penggunaan ibuprofen untuk penanganan gejala pada pasien infeksi SARS-CoV-2. Hal ini dilakukan setelah Prancis memberikan memperingatkan bahwa obat anti-inflamasi seperti ibuprofen bisa memperburuk efek COVID-19.

    Terkait imbauan ini, juru bicara WHO Christian Lindmeier mengatakan bahwa para pakar kesehatan PBB sedang menyelidiki hal ini untuk kemudian membentuk panduan lebih lanjut.

    “Sementara (penyelidikan berjalan), kami merekomendasikan penggunaan parasetamol, dan jangan menggunakan ibuprofen sebagai pilihan pengobatan mandiri. Itu penting,” katanya.

    Hanya saja, Lindmeier menambahkan jika ibuprofen telah diresepkan oleh para profesional kesehatan, maka itu diserahkan pada keputusan dokternya.

    Parasetamol dan ibuprofen dapat menurunkan suhu dan membantu gejala seperti flu. Tetapi kenapa ibuprofen dan obat antiinflamasi nonsteroid lainnya (NSAID) tidak cocok untuk penanganan gejala pada pasien positif COVID-19?

    Peringatan bahwa ibuprofen bisa memperburuk efek COVID-19

    Sebelum peringatan WHO, Menteri Kesehatan Prancis Olivier Veran baru-baru ini memerintahkan tenaga kesehatannya untuk menghindari penggunaan ibuprofen untuk menangani pasien COVID-19.

    Veran memperingatkan penggunaan ibuprofen dan obat anti-inflamasi serupa bisa menjadi faktor yang memberatkan pada pasien yang terinfeksi COVID-19. Menurutnya obat anti-inflamasi seperti ibuprofen dapat memperburuk gejala penyakit yang disebabkan oleh SARS-CoV-2.

    “Dalam kasus demam, minum parasetamol,” kata Veran dalam cuitan di akun Twitter-nya. Veran menekankan bahwa pasien yang sudah dirawat dengan obat anti-inflamasi harus meminta nasihat dari dokter mereka.

    Peringatan Veran ini mengikuti sebuah studi dalam jurnal The Lancet yang berhipotesis bahwa suatu enzim yang dikuatkan oleh obat anti-inflamsi seperti ibuprofen dapat memperburuk efek dan infeksi COVID-19.

    Website The National Health Service (NHS) Inggris yang sebelumnya merekomendasikan penggunaan parasetamol dan ibuprofen mengatakan untuk sementara menggunakan parasetamol daripada ibuprofen.

    “Saat ini tidak ada bukti kuat bahwa ibuprofen dapat memperburuk coronavirus (Covid-19) …. sampai kami memiliki informasi lebih lanjut, gunakan parasetamol untuk mengobati gejala-gejala coronavirus. Kecuali jika dokter memberi tahu parasetamol tidak cocok untuk Anda,” tulisnya.

    Pandemi COVID-19 yang telah menginfeksi lebih dari 210.000 orang di seluruh dunia hanya menyebabkan gejala ringan pada kebanyakan orang. Dalam beberapa kasus dapat menyebabkan pneumonia atau penyakit parah yang menyebabkan kegagalan pada beberapa organ.

    Efek ibuprofen yang dapat perburuk kondisi pasien COVID-19Efek ibuprofen yang dapat perburuk kondisi pasien COVID-19

    Sampai saat ini belum diketahui secara pasti apakah ibuprofen memiliki efek khusus pada tingkat keparahan gejala pasien COVID-19. Baik itu pada pasien yang sehat atau pada pasien yang memiliki penyakit penyerta.

    Meski begitu Dr. Charlotte Warren-Gash dari London School of Hygiene and Tropical Medicine mengatakan sebelum adanya kejelasan lebih baik menghindari penggunaan ibuprofen.

    “Terutama untuk pasien yang rentan, tampaknya masuk akal untuk menggunakan parasetamol (daripada ibuprofen) sebagai pilihan pertama,” katanya seperti dikutip dari BBC London.

    Dr. Warren-Gash mengatakan bahwa ada beberapa bukti yang menghubungkan ibuprofen dan beberapa penyakit infeksi pernapasan yang semakin parah. Walaupun belum benar-benar terbukti ibuprofen satu-satunya penyebab.

    Paul Little, seorang profesor peneliti primary care research di University of Southampton mengatakan bahwa beberapa ahli percaya sifat anti-inflamasi ibuprofen dapat melemahkan respons kekebalan tubuh.

    Prof. Parastou Donyai dari University of Reading mengatakan, “Ada banyak penelitian yang mengatakan penggunaan ibuprofen selama infeksi pernapasan dapat mengakibatkan memburuknya penyakit atau komplikasi lainnya.”

    “Tapi, saya belum melihat bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa ibuprofen memberikan efek tambahan dan risiko komplikasi pada pasien COVID-19 usia 25 tahun dan tanpa penyakit penyerta,” tuturnya.

    Fungsi ibuprofen

    Ibuprofen termasuk obat tanpa resep dokter yang paling banyak digunakan sama seperti parasetamol dan aspirin.

    Ibuprofen adalah obat penghilang rasa sakit harian untuk berbagai sakit dan nyeri, termasuk sakit punggung, kepala, gigi, dan nyeri haid. Ini juga mengobati peradangan seperti keseleo dan rasa sakit akibat radang sendi.

    Obat ini tersedia dalam bentuk tablet, kapsul, dan sirup untuk diminum ada juga dalam bentuk gel dan semprot untuk penggunaan luar. Ibuprofen yang tergolong dalam obat anti-inflamasi nonsteroid ini bekerja dengan cara yang berbeda dengan obat analgesik lainnya.

    Ketika seseorang merasakan sakit, nyeri, atau mengalami peradangan, maka tubuh akan secara alami menghasilkan zat kimiawi yang disebut dengan prostaglandin. Sementara, ibuprofen mempunyai kemampuan untuk menghentikan prostaglandin dihasilkan oleh tubuh, sehingga rasa nyeri pun hilang.

    Anda dapat membeli sebagian besar jenis ibuprofen dari apotek dan supermarket tanpa resep dokter. Ada beberapa jenis yang harus dengan resep dokter. Walau bisa dibeli tanpa resep dokter, untuk mengonsumsi ibuprofen anda perlu memperhatikan beberapa efek sampingnya.