1 Juli 2018. Santoso, anggota Batalyon Marinir Pertahanan Pangkalan XIV Sorong, mancing di perairan Waigeo, Raja Ampat, Papua Barat. Tak disangka, umpannya disambar seekor ikan yang memiliki keunikan. Keesokan harinya, 2 Juli 2018, Santoso yang juga anggota klub mancing mania di Kota Sorong, mengunggah ikan hasil pancingannya itu di Facebook.
Di media sosial tersebut, Santoso menanyakan jenis ikan yang ditemukan dan instansi yang dapat dihubungi untuk melaporkan penemuannya. Loka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (PSPL) Sorong menyambut informasi itu, dan meyakinkan bahwa sesuai morfologinya adalah Coelacanth atau ikan purba.
Loka PSPL Sorong menugaskan tim menemui Santoso, sekaligus melakukan pulbaket atau penyelidikan. “Pak Santoso mengira ikan itu goropa atau kerapu. Sayang, ikannya sudah di-fillet atau dipotong dan dimasak. Yang tersisa bagian kepala dan sedikit daging,” ungkap Kadarusman, dosen dan peneliti dari Politeknik Kelautan dan Perikanan Sorong, menceritakan kronologinya kepada Mongabay Indonesia, 18 Desember 2018.
Untuk memastikan ikan ini Coelacanth, Loka PSPL Sorong pun berkoordinasi dengan Politeknik Kelautan dan Perikanan Sorong serta UPT Kementerian Kelautan dan Perikanan di Kota Sorong. Disepakati, perlu ada uji DNA yang dikoordinir langsung oleh Kadarusman.
Doktor dari Universite de Toulouse, Perancis ini menjelaskan, berdasarkan analisis kekerabatan menunjukkan spesimen Raja Ampat ini benar-benar Coelacanth dengan Genus Latimeria, Famili Latimeriidae, Ordo Coelacanthiformes, Kelas Sarcopterygii, dan Phylum Chordata. Analisis tersebut menunjukkan pula bahwa grup besar Coelacanth terbagi dua: grup Africa (West Indian Ocean) dengan grup Indonesia. Menariknya, grup Indonesia terbagi lagi kedalam dua sub grup yaitu Manado dan Raja Ampat.
Pada konteks grup evolutif, pohon philogenetik membantu untuk menelaah, siapa dekat dengan siapa (kerabat terdekat). Analisis philogenetik menegaskan pula grup Coelacanth membentuk pola grup tersendiri yang terpisah dengan animalia lain. Pada beberapa publikasi ilmiah, yang menggunakan analisis genom (> 10 gen) dilaporkan bahwa Coelacanth memiliki sistem kekerabatan sangat dekat dengan ikan berparu atau Lungfishes dan animalia berkaki empat tetrapods.
Bukan spesies baru
Kadarusman menjelaskan, jika ditelaah lebih jauh, spesimen Raja Ampat membentuk subgrup tersendiri yang terpisah cukup jauh dan signifikan dengan populasi Manado. Atas evidensi ini, ia menegaskan, spesimen Raja Ampat adalah populasi beda (new population). Mengingat spesimen utuh populasi Raja Ampat tidak didapat, berdasarkan diktum zoological nomenclature, diktum systematic dan diktum taxonomical rules, maka populasi ini bukan spesies baru.
“Penulisan yang sah saat ini masih merujuk pada Latimeria menadoensis dengan populasi Raja Ampat,” ungkapnya.
Permukaan tubuh Coelacanth Raja Ampat cokelat kehitaman bercampur abu-abu tua, ada titik putih keruh yang tersebar mulai dari tutup insang (operculum) hingga pangkal ekor (hypural junction). Corak warna khas tersebut menyerupai populasi Manado, namun sangat berbeda dengan populasi bagian timur Afrika yang cenderung berwarna biru gelap (saat segar) kemudian berubah abu-abu gelap dalam selang beberapa waktu.
Spesimen Raja Ampat ini panjang totalnya sekitar 995,70 mm, tinggi 247,67 mm, panjang kepala 124,31 mm, dan tinggi batang ekor 163,43 mm. Panjang sirip pertama pada komposan sirip dorsal depan adalah 137,40 mm dengan jumlah sisik barisan vertical (vertical scales) 18 baris.
“Untuk membuktikan populasi Raja Ampat spesies baru, dibutuhkan minimal spesimen utuh secara morfologi. Tujuannya, agar ahli taksonomi dapat menganalisis lebih dari 30 karakter morfomeristik yang selanjutnya dibandingkan dengan holotype-paratype Sulawesi yaitu Latimeria menadoensisyang didepositkan di Museum Zoologicum Bogoriense (MZB LIPI Indonesia) dan holotype-paratype Afrika (L. chalumnae) dideposit di beberapa Museum di Afrika dan Inggris Raya,” terangnya.
Kadarusman melanjutkan, jarak genetis evolutif antara populasi Raja Ampat dengan Manado, di Sulawesi, terekam lebih dari 1 persen. Ini mengindikasikan, populasi Raja Ampat adalah populasi tersendiri yang terpisah sejak 6-8 juta tahun silam.
Divergensi kedua populasi terjadi pada momentum geological event, awal terbentuknya Kepulauan Nusantara. Sedangkan jarak genetis evolutif antara populasi Raja Ampat dengan Latimeria chalumnae, lebih dari 3 persen, atau setara dengan periode perpisahan antara 20-30 juta tahun.
Komparasi detil genetic distances tersebut dipublikasi dalam Jurnal Marine Biology (Oktober 2010), oleh Kadarusman dan kawan-kawan (Sudarto et al., 2010) dengan kerja sama KKP, LIPI, Unsrat Manado, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Utara dan IRD. Tulisan tersebut berjudul: Mitochondrial genomic divergence in coelacanths (Latimeria): Slow rate of evolution or recent speciation?
Ikan Coelacanth ini memiliki evolution rate sangat lambat dibandingkan ikan laut lain. Ini dipicu kondisi habitatnya yang sangat stabil, hidup pada relung goa-goa bawah laut pada kedalaman 100-200 meter di bawah permukaan laut. Usia hidupnya bisa mencapai 80-100 tahun dengan berat tubuh hingga 90 kilogram dengan panjang hingga 2 meter.
Ancaman sampah plastik
Berdasarkan penjelasan Kadarusman, ikan unik ini bersifat nocturnal piscivores, pada saat mencari makan dengan gaya unik passive drift feeders. Di Benua Afrika, ancaman kehidupannya adalah tertangkap tidak sengaja saat nelayan menangkap oilfishes (Ruvettus pretiosus).
Ancaman lainnya adalah luas dan masifnya distribusi sampah plastik yang berubah menjadi mikroplastik dalam lautan, mulai dari permukaan hingga dasar perairan. Partikel mikroplastik dapat termakan secara tak sengaja oleh indukan maupun anakan Coelacanth. Kandungan mikroplastik pada gastrointestinal ikan dapat menyebabkan peradangan (imflammation) bagian usus, yang lambat laun akan mengurangi nafsu makan, malnutrisi dan menyebabkan mortalitas.
“Coelacanth menarik perhatian banyak kalangan, mulai dari saintis, pegiat konservasi hingga pelancong ikan-ikan unik. Penemuan populasinya di Raja Ampat menjadi momentum sangat baik dan bijak untuk terus meningkatkan upaya perlindungan habitat, dan kesadaran manusia menjaga lautan dan isinya menuju Raja Ampat sebagai destinasi istimewa di perairan tropis,” papar Kadarusman.
Coelacanth adalah fosil hidup tersisa di muka Bumi. Diperkirakan,telah ada sejak Zaman Devonian sekitar 400 juta tahun silam atau disebut juga Zaman Ikan yang mengacu pada evolusi beberapa kelompok ikan. Sebelumnya, keberadaan jenis ini hanya diketahui dari fosil. Hingga akhirnya pada 22 Desember 1938, ia benar-benar terlihat nyata, hidup, di Muara Chalumna, Afrika Selatan. Jenis ini dinamakan Latimeria chalumnae.
30 Juli 1998, spesiemen hidup Coelacanth tertangkap jaring nelayan di perairan Pulau Manado Tua, Sulawesi Utara, bagian gugusan pulau yang membentuk Taman Nasional Bunaken. Sebelum diketahui ia merupakan ikan purba, masyarakat setempat pernah menjualnya di Pasar Ikan Bersehati, Manado, tahun 1997.
Hal menggembirakan dari temuan Coelacanth ini adalah dikukuhkannya sebagai jenis baru yaitu Latimeria menadoensis. Tentunya, berdasarkan analisa DNA mitokondria dan isopopulasi yang sudah dilakukan para peneliti. Perbedaan mendasar L. menadoensis dan L. chalumnae ada pada bagian bawah tubuh daerah dorsal dan sisik yang membentang hingga ekor.
Berdasarkan IUCN Red List, spesies L. chalumnae berstatus Kritis (Critically Endangered) mengingat laju penurunan populasinya yang signifikan dari masa ke masa. Sedangkan spesies L. menadoensis yang dikenal dengan nama ikan raja laut dikategorikan Rentan (Vulnerable). Pastinya, hidup L. menadoensis di Indonesia dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.92/MENLHK/SEKJEN/KUM.1/8/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Sumber : GNFI